rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Selasa, 02 Juni 2009

Memberitakan iklan, dan mengiklankan berita


ahad, 30 mei 2009

Tadi liat TVOne, seperti biasa karena hari ini adalah hari minggu, jadi setingannya di gelora bung karno. Dilatarbelakangi oleh orang-orang yang sedang berolahraga atau sekedar kongkow2, saya pikir TVOne sedang membahas isu politik yang samakin memanas akhir-akhir ini. Tapi ternyata, dugaan saya meleset. Saya justru menyaksikan adegan yang paling tidak enak untuk dilihat, tapi jelas enak untuk dilakukan: Seseorang yang sedang dipijat. Tenang, ini bukan tentang panti pijat++ yang biasanya ramai dikunjungi oleh para oknum pejabat, tapi ini tentang obat gosok…ya bener-bener obat gosok, bukan pijatnya.

Si pemijat, hanya melakukan pijatan untuk membuktikan kasiat obat gosoknya kepada para relawan, yang benar-benar dalam keadaan 100% rela dipijat (ya iyyalah, wong dipijat abis olahraga, gratis lagi…uenak rek!). Dan, saat adegan pijat berlangsung, sang presenter melakukan tugasnya, sungguh mengagetkan ternyata ia bertanya-tanya tentang merek obat gosok tersebut, yah, sebut saja conterpain. Waduh, saya jadi bingung (walaupun sedikit paham), ini berita apa iklan. Biasanya, presenter berita sangat hati-hati sekali dalam menyebutkan identitas sebuah produk, apalagi jelas-jelas menyebutkan mereknya, pake nanya kelebihannya segala, kan iklan banget tuh.

Dan ternyata saya baru ingat, hal-hal yang terkait dengan mengiklankan produk dalam berita itu bukanlah suatu hal yang melanggar hak asasi manusia, atau undang-undang dasar republik indonesia tahun 1945, sebelum atau sesudah diamandemen. Yang jelas, dalam dunia bisnis apapun bisa terjadi. Logika sederhananya, conterpain butuh promosi yang efektif, dan tvone butuh pemirsa…oh, bukan-bukan, tapi butuh uang.

Kan biaya iklan itu mahal?. Ya emang bener sih, tapi para praktisi PR punya jurus lain untuk “mengiklankan” produk tanpa “iklan”. Lho kok bisa ya?, ya bisa-bisa aja sih. Begini, praktisi PR bikin event, kemudian mengundang wartawan dan bikin press release, besoknya di media cetak atau elektronik yang lokal maupun nasional, akan terspampang berita PT.X menyelenggarakan bla..bla..bla…, meskipun memang kemasannya berita, tapi disitu ada publisitas, ada nama PT.X dan produknya disebut-sebut. Ini menguntungkan bagi si PR dan PT.Xnya, karena spot berita (publisitas) di media lebih besar dari iklan tapi biayanya jauh lebih murah. Tapi ini tentunya bergantung pada bagaimana si PR memainkan isu yang menarik untuk diberitakan, karena Pers punya mazhabnya sendiri dalam menentukan mana yang layak diberitakan dan mana yang tidak.

Tapi sekarang eranya lain kali ya, praktisi bisnis media sudah lebih cerdik lagi, sekarang bisa jadi biaya spot di berita lebih mahal daripada iklan. Mengapa?, karena eh karena berita bisa dianggap lebih kredibel dan “netral” dalam menyampaikan suatu informasi, meskipun sedikit tercium bau pembohongan publik dalam hal ini. Orang, perusahaan atau apapun dengan uangnya yang banyak bisa “memesan” berita, atau bisa jadi topik utama dalam talkshow di tv, asal dia bayar.

Lagi-lagi, dalam dunia bisnis, ini mungkin tidak salah, karena prinsipnya siapapun pasti akan mengejar keuntungan. Tapi bukankah ada kode etik?, etik mana?, etik koes endang?...tampaknya bukan. Kode etik mungkin hanya ada di kertas-kertas buram yang diletakkan di salah satu sudut paling gelap di kantor. Sehingga, akan ada pledoi yang relevan ketika ada yang bertanya “mengapa tidak baca kode etik?”, maklum “naskah aslinya hilang, dan susah dicari!!”. Sedih, padahal sekarang sudah era digital.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini