rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Selasa, 30 Juni 2009

sebuah bangsa tanpa cita-cita

The Statue of Liberty front shot, on Liberty I...Image via Wikipedia

masih tentang mimpi kawan. kali ini, ia hadir dalam nama lain: cita-cita.

tak salah, dulu bapak bangsa ini berpesan "gantungkanlah cita-citamu setinggi langit". ya, karena memang begitulah hukum kehidupan, siapa yang menginginkan, dialah yang akan mendapatkan. siapa yang bercita-cita untuk menjadi, maka dialah yang akan menjadi.

Kawan, tentu kau telah tau, bagaimana dulu, amerika, si adi daya yang katanya super power itu bukanlah apa-apa. tapi lihatlah sekarang, bahkan dunia secara membabi-buta telah menjadikannya kiblat hampir segala sesuatu. dari mulai sistem ekonomi, sampai makanan cepat saji yang juga cepat menggemukkan itu.

lihat pula inggris. negerinya ratu ini, sudah dikenal sebagai "bapaknya penjajahan", karena hampir tak ada negara atau benua yang tak pernah disinggahi dan dieksploitasi olehnya. ia begitu berjaya di daratan, dan ia juga kaisar di lautan. banyak bangsa ditaklukkan, dan terpaksa harus mengakuinya sebagai sebuah bangsa yang besar. saking berjayanya, bahasa mereka dinobatkan sebagai bahasa dunia. kata seorang kawan "susah go international kalo kaga bisa bahasa inggris".

ah, itukan amerika, dan inggris juga di eropa. Bisa saja, teori tentang keunggulan ras nyaring bunyinya untuk menjelaskan hal ini.

hmm, kalo begitu mari kita ke asia, agar kata "tapi" menggambil perannya dalam penegasian. Asia, adalah sebuah tempat di mana ras kita berkembang (kita?).

kau tahu india?. ya, negerinya sakhrukh khan (sampai susah nyebutnya), tuan takur, inspektur vijay, sridevi, dan....hanoman itu. siapasih yang ga tau bagaimana "wajah" india?. kau lihat saja di film slumdog millionare itu, gang-gang kumuhnya, dan.....banyak hal yang membuat kita miris. walaupun tidak segitunya, tapi ya begitulah india. lagi-lagi "tapi", walaupun "begitu-begitu", saat ini india adalah salah satu negara asia yang mengalami kemajuan ekonomi cukup pesat. bahkan para pakar harus terkagum-kagum dengan perkembangan fantastis negeri bernama India ini, terutama di bidang iptek, hingga kemudian banyak buku yang memperbincangkannya.

nah, luar biasa bukan?. dan kau tahu apa yang menyebabkan Amerika, Inggris, dan...india, bisa "sebegitunya" jadi sebuah bangsa yang "dianggap" besar?. semua itu karena cita-cita kawan. Neger-negeri ini bersemi karena mereka punya mimpi. bangsa-bangsa ini besar, karena mereka kekar dengan cita-cita. kita mengenal istilah "American Dreams", atau "The British rules the waves", dan India, walaupun saya sedikit bingung tentang "kata-kata" apa yang menyimbolkan cita-cita India, tapi lihat saja film-filmnya, penuh dengan impian tentang masa depan.

Maka, pertanyaan besar kita sesungguhnya bukanlah kenapa Amerika, Inggris, India atau negara manapun menjadi besar?. karena kita sudah tahu jawabannya. tapi pertanyaan besar yang sesungguhnya adalah, "Sudahkah bangsa kita punya cita-cita?", "sudahkah negeri ini punya mimpi?". bagaimana mengukurnya?

kata orang, cita-cita sebuah bangsa adalah akumulasi dari cita-cita individu-individu yang membentuknya. mimpi sebuah negeri adalah rangkaian dari mimpi-mimpi rakyatnya.

Kalo boleh jujur. saya sudah bosan dengan pendeskreditan bangsa ini. saya juga cukup jengah dengan cerita-cerita guyonan, yang walaupun itu hanya sekedar lelucon, yang berisi tentang "sikap" dan "penggambaran" kekalahan dan ketidak berdayaan kita sebagai "orang indonesia".

berhentilah berpikir kalo orang indonesia itu otaknya selalu orisinal...karena ga pernah dipake misalnya.

karena realitas, lahir dari pikiran.

Bagaimana nasib negeri ini ke depan?,dan akan menjadi seberapa "besar" bangsa ini?. kitalah yang ikut menentukan. ukurannya sederhana, "seberapa besar mimpi-mimpi kita?"

dan "seberapa besar kita berupaya untuk mewujudkannya".






Reblog this post [with Zemanta]

Jumat, 26 Juni 2009

Berdansa dengan mimpi!!

Tahukah kawan?, kita telah sering diajari bahwa betapa banyak hal besar terjadi di dunia, dan ia tak lain pada awalnya adalah sebuah mimpi.

Maka izinkalah saya berdansa bersamanya.

Biarlah saya memeluknya dalam jarak yang paling dekat. Jarak yang memungkinkan saya untuk bisa berbisik halus padanya dan mengatakan "tetaplah bersamaku"...kemudian saya akan melanjutkan dengan kata mesra lainnya "jangan lelah di sini, jangan pergi....sampai aku dan kau mengabadi menjadi sebuah atraksi terindah di Firdausnya"...

biarlah saya juga mendengar kata halusnya yang menumbuhkan "tetaplah bergerak, tetaplah berjuang, tetaplah belajar, dan tetaplah berani....sampai 'aku' menjadi nyata!!"

oh...sungguh romantis kan kawan?. setidaknya buat saya pribadi.
dan begitulah mimpi, ia harus kita buat "hidup" agar energi kehidupan kita tak pernah habis untuk menjangkaunya. agar badai kehidupan tak melumpuhkan kita dalam jalan kepadanya. dan agar kehidupan itu sendiri (dengan segala romantikanya), tetap menarik untuk kita lakoni.

"jika engkau berdoa", begitu nasihat terbaik berkata "maka mintalah yang paling tinggi". jika engkau meminta Syurga, maka mintalah yang paling tinggi: Firdaus_Salim A Fillah.

Maka berdansalah bersama mimpi, dan nikmatilah kebersamaan itu. sampai "musik" yang dianugrahkan Allah yang berjudul "waktu", mulai memainkan nada akhirnya.

Kamis, 25 Juni 2009

Belajar lagi Mind Set


Mungkin sudah sering saya baca buku yang berkaitan dengan NLP. dan beberapa kali saya juga pernah mendengar prinsip-prinsipnya, melalui training maupun seminar-seminar. tapi ternyata untuk melekatkan "knowledge" menjadi sesuatu yang "inheren" dalam diri dan keseharian kita, butuh waktu, butuh proses, dan butuh pengulangan.

Seperti kita waktu belajar pertama kali mengendarai sepeda motor, atau mobil. di awal kita belajar, pasti ada proses bertahap yang kita lalui. otak sadar terlibat sangat dominan. misalnya: "pertama, masukan kunci motor", berikutnya "nyalakan stater", proses perpindahan gigi, menarik rem, dan seterusnya seringkali diawali dengan proses berpikir. tak heran di proses awal belajar kita sering kaku dan salah.

tapi, ini semua tak terjadi lagi ketika kita sudah mahir. mekanisme menyalakan mesin, mengoper gigi, bahkan mengerem mendadak, tak perlu lagi melibatkan otak sadar. semuanya seolah-olah sudah otomatis. tanpa ragu, tanpa kaku, kita terampil mengoperasikan rem, gas, oper gigi, dan mengatur posisi stir. semuanya berjalan otomatis, dan seirama.

nah, tadi pagi, saya baru saja mengikuti semacam workshop EFT (emotional freedom technique). semacam metode untuk mengatasi masalah-masalah pribadi melalui terapi pelepasan emosi. Konon, jutaan orang telah merasakan manfaatnya, mulai dari proses penyembuhan penyakit-penyakit ringan, sampai hal-hal yang terkait dengan trauma atau phobia. Dan, ternyata akar dari terapi ini adalah NLP juga.

NLP juga EFT pada intinya merupakan teknologi pengembangan diri. kita bisa menerapkannya dalam lapangan kehidupan yang luas. mulai dari mendidik anak, membangkitkan semangat, memperbaiki kinerja tim, dan seterusnya. pengetahuan seseorang tentang teknologi pengembangan performa merupakan aset yang tak ternilai. dengannya ia bisa memperbaiki kualitas hidupanya, dan juga membantu memperbaiki kualitas hidup orang lain.

Maka, jika Anda ingin memiliki kemampuan dalam menangani dan memecahkan masalah-masalah hidup, pekerjaan, kesehatan, dan seterusnya.. belajarlah teknologi pengembangan diri...kemudian terapkan secara perlahan....dan konsisten.

Rabu, 24 Juni 2009

Antara Hujan dan Optimisme

Saya adalah orang yang senang bepergian. Dan motor adalah kendaraan yang paling ideal untuk saya gunakan (untuk saat ini), karena ia bisa menyelinap kamanapun saat kemacetan mendera. Tapi taukah kawan, keidealannya bisa terbantahkan ketika hujan turun?. Guyuran air yang turun dari awan itu akan membasahi pakaian kita, dan setidaknya membuat kita kedinginan. Kemudian, tantangan besar berikutnya adalah, saya tidak pernah menyiapkan jas hujan, padahal sudah lama saya dengar pepatah memberikan nasihatnya “sedia jas hujan sebelum hujan”.

Biasanya, jika dalam perjalanan hujan turun, saya menghentikan motor sejenak dan memarkirkannya di pinggir jalan untuk berteduh. Walaupun memakan waktu yang cukup lama untuk menunggu sang hujan pulang ke peraduannya. Atau jika hanya gerimis, saya akan melanjutkan perjalanan tanpa menoleh untuk berhenti.

Pernah suatu ketika, saat saya melaju dengan kecepatan kurang lebih 60 KM/jam, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Air hujan itu turun dari atas seperti berondongan peluru yang ditembakkan tanpa ampun. Seketika pakaian saya basah, demikian juga tas yang tidak anti air, yang juga tidak kebetulan didalamnya berisi laptop. Menurut hukum logika, seharusnya (seperti biasa) saya menghentikan motor dan berteduh.

Tapi waktu itu, entah mengapa intuisi saya mengatakan lain. Tiga detik pertama ketika hujan turun, intuisi saya mengatakan “lanjutkan saja bang, langit di depan sedang cerah, jadi hujan ini takkan lama…lagian bentar lagi sudah mau sampai rumah”. Mungkin inilah yang dimaksud “blink” oleh malcolm gladwell. Dan sayapun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Ternyata benar kawan, hujan tak berlangsung lama. Hanya beberapa ratus meter perjalanan, hujanpun seolah hilang dengan perlahan. Dan saya telah menghemat waktu sekian menit plus sekian detik, untuk tidak berhenti.

Begitulah hidup kawan, hujan itu ibarat ujian atau tantangan-tantangan yang kita lalui. Kadang tantangan-tantangan itu memaksa kita untuk berhenti merangkai mimpi-mimpi kita. Atau kadang ia berlaku lebih baik, kita hanya perlu berhenti sejenak, baru kemudian melanjutkan perjuangan dengan mengorbankan sedikit waktu yang terbuang.

Tapi kemudian dalam bermimpi, kita perlu optimisme kawan. Optimisme yang tidak hanya di bangun dari keyakinan kosong, tapi benar-benar keyakinan yang kuat. Keyakinan yang mendasari tindakan kita, kemudian sedikit perhitungan rasional tentang apa yang ada dihadapan kita. Ketika hujan itu, saya melihat langit di depan cerah, sehingga intuisi saya juga berkata “disana hujan telah berhenti!”.

Jadi, ketika tantangan mendera kita, ketika ujian merangkul kita hari demi hari, jangan berhenti kawan. Jangan berhenti untuk terus berjuang dengan segenap potensi kita. Jangan berhenti untuk bermimpi dan menuntaskan cita-cita kita, lihatlah ke depan, dan kau akan temukan— “ternyata langit masih cerah”.

Kawan, ingatlah ini: bersama kesulitan, ada kemudahan.

Selasa, 23 Juni 2009

smile Provider


Berapa harga sebuah senyuman?, “bisa jutaan dolar”, tulis seorang motivator. Aneh ya, padahal kan senyum itu sederhana, ga perlu modal besar untuk bisa tersenyum. Kita ga perlu menjual aset, baik berupa real estate, reksa dana, atau deposito untuk bisa tersenyum. Kita juga tak perlu menggesekkan kartu kredit ke sela-sela gigi kita agar kedua ujung bibir bisa mengembang simetris, dan kulit sekitar mata ikut mengkerut. Atau, menyelipkan kartu perdana yang ditempel di pipi kita, dan diisi ulang dengan voucher elektronik setiap kali pulsanya habis. Logikanya sederhana: ada pulsa, ada senyum.

Kawan, senyum selalu punya banyak makna. dan ia (mungkin) merupakan sebuah elemen terkecil pembentuk kepribadian dan konsep diri seseorang. lihatlah senyum ayah dan ibu kita, di atas kesederhanaan dan ketulusan, ia hadir dengan makna “ayo nak, kamu bisa”, atau “aku bangga padamu nak”. kemudian tengoklah senyum sahabat di kanan-kiri kita, yang bermakna :“jangan menyerah kawan, kau terlalu hebat untuk berhenti bermimpi”. Senyum juga punya makna apresiatif: “kerja bagus”, atau sekedar menyalakan semangat: “hari yang cerah ya?”.

tapi beberapa orang, menganggap dunia sudah semakin mekanis. Katanya, mereka sukar sekali melihat orang-orang tersenyum. mereka mempertanyakan, "akankah kita jumpai senyum-senyum yang penuh dengan ketulusan?", "atau hanya senyum penaklukkan?", yang menjungkirkan manusia pada hubungan subjek dan objek. Dimana yang satu menjadi "alat" bagi yang lain. Tapi jikapun hal ini terjadi, kita harus proaktif ,kata Covey. "Jangan lihat kondisinya", "lihat bagaimana kita bisa bersikap dengan cara yang berbeda pada kondisi tersebut".

Mungkin saja, krisis senyum akan menghadirkan lapangan bisnis baru: Smile Provider. Catat berapa orang yang butuh diberi senyuman, dan catat berapa lama mereka diberikan service. Tetapkanlah harganya, dan buatlah surat perjanjian kerja. Disaat dimana kontrak telah ditandatangani, para agen akan berpencar ke setiap sudut yang menjadi ruang rutinitas sang klien. Di depan rumah, di perempatan yang biasa dilewati, di pom bensin, di gerbang kantor, di kantin atau rumah makan, dan seterusnya. Kapanpun sang klien melewati tempat-tempat ini, para agen akan melakukan tugasnya: mereka akan tersenyum.

tapi jikapun ya. smile provider adalah bisnis menggiurkan yang terlalu miris untuk dijalankan. kita bukan robot kawan, senyum itu sederhana, senyum itu sedekah. malahan, temuan ilmiah menerangkan bahwa lebih banyak energi yang dikeluarkan ketika seseorang cemberut daripada ketika ia tersenyum.

jadi marilah kita tersenyum..dengan ikhlas tentunya...
karena "senyuman yang tulus" kata pepatah jepang, "dapat menghangatkan setahun musim dingin"

Selasa, 09 Juni 2009

Nasi itu bernama GILA!!

Sayup-sayup adzan Isya terdengar. Angin yang berkeliaran sesaat setelah hujan reda, mengetuk-ngetuk pori-pori kulit, seolah memerintahkan diri untuk segera memasuki sebuah ruangan, yang tidak hanya akan menghangatkan badan, tapi juga jiwa. Ruangan itu bernama mesjid. Saya harus segera kesana, karena memang Tuhan telah memanggil melalui seruannya yang teramat mulia untuk diabaikan.

Tetapi beberapa waktu sebelum itu. Saya baru saja menghabiskan sepiring nasi gila. Entah karena apa produk kuliner yang satu ini dinamakan “gila”. Mungkin karena “kepribadiannya” yang terbelah, ada telur, sosis, baso, dan bumbu-bumbu yang dioseng (di acak-acak) menjadi satu. Dan dituangkan begitu saja, tanpa konsistensi, ke atas sepiring nasi panas yang masih mengepul, lalu kemudian ditelantarkan pula sepotong kerupuk udang di atasnya. Kalau begini, mungkin ada nama lain yang lebih cocok: Nasi Schizo.

Atau, dinamakan nasi gila, bisa jadi karena nasi yang populer sekitar tahun 2005an di belahan bumi jatinangor ini, diracik dan ditemukan oleh seseorang yang “sedang gila”. Bukan “gila” dalam pengertian umum tentunya, dimana ia diasosiasikan dengan orang yang tak berbaju, atau compang-camping, yang serba hitam karena badannya dipenuhi dengan debu dan kotoran, dan rambutnya mengeras seperti tembok, plus berjalan tanpa tujuan dengan wajah linglung (atau tersenyum-senyum tak jelas). Tapi, bukankah kita semua mengidap kegilaan, dengan derajat tertentu?. Setidaknya begitulah kata para psikolog. Nah, bisa jadi, nasi gila ditemukan oleh orang saat ia sedang mengalami “konsleting otak”, “stress”, “depresi”, atau “ecstacy”?...entahlah.

Saya mengakhiri ritual makan malam itu dengan menyisakan beberapa butir potongan bakso, karena entah kenapa, setelah berpikir bagaimana nasi gila ini terbentuk, tiba-tiba saja imajinasi saya berkelebatan ke tayangan berita kemarin lusa, tentang daging celeng yang “disusupkan” ke dalam berbagai bahan makanan olahan…astaghfirullah.

Rabu, 03 Juni 2009

Dari Manohara, sampai tidur pagi


Manohara sudah kembali ke pangkuan ibunya, kapal perang orang-orang malay seolah tak punya malu terus-menerus memasuki aurat perairan kita. Sementara itu, dibalik teralis, pada akhirnya Prita, seorang ibu rumah tangga yang harus merasakan penjara gara-gara email, diberikan penangguhan penahanan oleh polisi. Prita bisa pulang, dengan sujud syukur, dan kembali ke pangkuan anak-anaknya. Di bagian bumi yang lain (masih di indonesia), sekumpulan intelektual ramai-ramai memadati jalan, mereka mewakili dua identitas. Bukan sedang melakukan lomba debat, atau diskusi berbobot tentang bagaimana seharusnya rakyat menyeleksi pemimpin, apalagi berteriak lantang memperjuangkan hak-hak kaum tertindas, mereka hanya sedang adu jotos. Ya, adu jotos kawan. Seolah tak mampu mengaktualisasikan diri melalui pertarungan pemikiran, mereka menyerahkan hidupnya pada emosi dan amarah, hingga akhirnya ototlah yang berbicara atas nama solidaritas. Saling lempar batu, balok dan pentungan.

Sementara itu, di sudut lain Indonesia, seseorang seseorang sedang terdiam, atau larut dalam kesenangannya..entahlah. ia sedang lapar sebab ia memang belum sarapan. Ia juga sedang memikirkan makanan yang enak-enak, dan minuman yang hangat-hangat. Apakah sepiring nasi goreng dan secangkir susu coklat dapat mengenyahkan keresahan?. Entahlah, karena seseorang itu ternyata saya. Jadi nanti saja jawabannya dikirim setelah nasi goreng dan susu coklat itu benar-benar ada, dan berjalan melalui kerongkongan saya.

Cobalah mengerti. Begitu kata peterpan. Betapa banyak orang yang ingin dimengerti di dunia ini. Seorang penyair berteriak melalui puisinya, ketika seorang musisi lantang dengan syair dan aransemen musiknya. Di saat yang sama, anak-anak melakukannya dengan menggambar sebidang bentuk, atau satu hal yang lebih sederhana: menangis. Saya juga melihat seorang terdakwa sedang melakukan pledoi. Dan itu semua adalah bahasa lain dari ungkapan yang ditujukan pada dunia: “cobalah mengerti”.

Tapi ternyata, tak selamanya dunia mengerti. Seringkali kita harus puas dengan mengusap dada. Biarlah semua itu berlalu, dan biarlah orang lain tak tahu bagaimana ingin dimengertinya kita, dan walaupun mereka mencoba mengerti, kita harus puas dengan kenyataan bahwa pengertian mereka salah. Jika seperti ini, lebih baik tidak dimengerti sama sekali.

Tapi ternyata, bagaimana orang lain akan mengerti, sementara saya sendiri bingung dengan apa yang saya tulis?. Dan memang tulisan ini sulit dimengerti, walaupun saya sedikitnya paham lanturan kalimat-kalimat ini adalah senjata untuk mengusir kantuk. Jari-jari yang saya gerakkan di keyboard adalah amunisi-amunisi yang saya lepaskan untuk “membunuh” sebuah kebiasaan buruk saya: tidur pagi.

Selasa, 02 Juni 2009

Otak kiri VS Otak kanan




Otak kiri: “ Ada 400 lebih rekan-rekan kita di wisuda di sesi empat kemarin. Itu satu sesi, jika totalnya ada lima sesi, tinggal 400 saja dikali lima. Kurang lebih dalam jumlah itulah kemudian mereka bersaing memperebutkan kesempatan kerja yang ada. Atau, jika ditarik lebih spesifik, kurang lebih ada tiga ratusan orang (dan 300 saingan) untuk setidaknya memperebutkan posisi-posisi yang tersedia bagi fresh graduate, sarjana ilmu komunikasi…fuiiihhhh, perjuangan yang melelahkan”

Otak kanan: “kawan, bukankah persaingan itu indah, aku tak tahan membayangkan bagaimana yang ratusan itu memperbutkan sebuah posisi…sungguh menyenangkan, dan menggembirakan!”

Otak kiri: : “menggembirakan dari HONGKONG!!!, kau pikir 400 itu sedikit?, belum lagi ribuan universitas di seluruh penjuru negeri yang juga melepas para wisudawannya. Yang ada angka pengangguran akan meningkat secara drastis, dan secara otomatis itu akan menggagalkan target pemerintah untuk mengurangi sekian jumlah pengangguran. Dan dari waktu ke waktu angka itu terus bertambah, sementara peluang semakin sempit kawan, lapangan kerja kita terbatas!!, ini bukan kegembiraan namanya!! Ini bencana!”

Otak kanan: “ini tetap menggembirakan…dan aku ingatkan, kegembiraan itu bukan dari HONGKONG, tapi di negeri ini, Indonesia. Karena orang Indonesia juga berhak untuk bahagia, setidaknya itu dijamin dalam declaration of human rights, atau pembukaan UUD 45, bahwa kemerdekaan (termasuk merdeka untuk gembira) ialah hak segala bangsa!!. Dan sudahlah, cukuplah berpikiran sempitnya, lihatlah tanah kita ini, masih banyak jengkal-jengkal tanah yang kosong untuk kau jadikan kantor sendiri, dan masih banyak sumber daya manusia yang sangat kompeten dan bisa diberdayakan dengan sangat baik. Dan lihatlah, jangankan 400 kawan, dihadapanmu ada 200 juta jiwa lebih manusia, bahkan diprediksi lima atau sepuluh tahun mendatang akan terjadi peningkatan setengahnya. So, kau tahu siapa mereka?, mereka adalah calon konsumenmu, pasar yang begitu menggiurkan bukan?”

Otak kiri: “ow…ayolah, cobalah sedikit rasional, jangan terlalu mengawang-ngawang. Maksudmu kau mau aku bikin kantor sendiri?, buka usaha sendiri?, dan merekrut orang-orang untuk dipekerjakan?. Boy, kalo mimpi jangan siang-siang, nanti kau ketinggalan kereta!!. Berapa banyak modal yang dibutuhkan?,dan darimana aku mendapatkannya?, dan kalaupun ada, bagaimana aku menjalankannya?. Menurut survey, rata-rata orang-orang yang sukses berbisnis, ternyata dulunya mereka pernah bekerja pada bidang yang sama, jadi mereka punya pengalaman dulu, baru bikin usaha!!”

Otak kanan: “ah, setauku kau bukan tim sukses salah satu capres dan cawapres, tapi kau percaya survey juga rupanya..haha. kawan aku hanya ingin mengingatkan satu hal, yang sering dikatakan usdatz kita. Katanya “survey itu bukan bagian dari rukun iman”. Nah, kau tau itu, dan jelas sekarang, bahwa survey itu memang baik, tapi ia tak harus menjadi hal yang harus kita yakini dengan begitu dalamnya. Prediksi itu bisa meleset kawan, dan kau sendiri tau, bahwa ukuran terbaik suatu teori adalah ketika teori tersebut bisa divalsifikasi. Jadi, mengapa tidak buat eksperimen baru, membongkar kemapanan survey yang ada?.”

Otak kiri: “hmmm….masuk akal juga….tapi itu terlalu berat, resikonya terlalu besar!!”

Otak kanan: “di dunia ini semuanya beresiko kawan, tapi itu semua sebanding dengan apa yang akan kau dapatkan kelak. Dan begitulah Sunnatullah, sesuatu yang wajib kau yakini melebihi keyakinanmu terhadap survey manapun, baik keluaran LSI ataupun Harvard University”

Memberitakan iklan, dan mengiklankan berita


ahad, 30 mei 2009

Tadi liat TVOne, seperti biasa karena hari ini adalah hari minggu, jadi setingannya di gelora bung karno. Dilatarbelakangi oleh orang-orang yang sedang berolahraga atau sekedar kongkow2, saya pikir TVOne sedang membahas isu politik yang samakin memanas akhir-akhir ini. Tapi ternyata, dugaan saya meleset. Saya justru menyaksikan adegan yang paling tidak enak untuk dilihat, tapi jelas enak untuk dilakukan: Seseorang yang sedang dipijat. Tenang, ini bukan tentang panti pijat++ yang biasanya ramai dikunjungi oleh para oknum pejabat, tapi ini tentang obat gosok…ya bener-bener obat gosok, bukan pijatnya.

Si pemijat, hanya melakukan pijatan untuk membuktikan kasiat obat gosoknya kepada para relawan, yang benar-benar dalam keadaan 100% rela dipijat (ya iyyalah, wong dipijat abis olahraga, gratis lagi…uenak rek!). Dan, saat adegan pijat berlangsung, sang presenter melakukan tugasnya, sungguh mengagetkan ternyata ia bertanya-tanya tentang merek obat gosok tersebut, yah, sebut saja conterpain. Waduh, saya jadi bingung (walaupun sedikit paham), ini berita apa iklan. Biasanya, presenter berita sangat hati-hati sekali dalam menyebutkan identitas sebuah produk, apalagi jelas-jelas menyebutkan mereknya, pake nanya kelebihannya segala, kan iklan banget tuh.

Dan ternyata saya baru ingat, hal-hal yang terkait dengan mengiklankan produk dalam berita itu bukanlah suatu hal yang melanggar hak asasi manusia, atau undang-undang dasar republik indonesia tahun 1945, sebelum atau sesudah diamandemen. Yang jelas, dalam dunia bisnis apapun bisa terjadi. Logika sederhananya, conterpain butuh promosi yang efektif, dan tvone butuh pemirsa…oh, bukan-bukan, tapi butuh uang.

Kan biaya iklan itu mahal?. Ya emang bener sih, tapi para praktisi PR punya jurus lain untuk “mengiklankan” produk tanpa “iklan”. Lho kok bisa ya?, ya bisa-bisa aja sih. Begini, praktisi PR bikin event, kemudian mengundang wartawan dan bikin press release, besoknya di media cetak atau elektronik yang lokal maupun nasional, akan terspampang berita PT.X menyelenggarakan bla..bla..bla…, meskipun memang kemasannya berita, tapi disitu ada publisitas, ada nama PT.X dan produknya disebut-sebut. Ini menguntungkan bagi si PR dan PT.Xnya, karena spot berita (publisitas) di media lebih besar dari iklan tapi biayanya jauh lebih murah. Tapi ini tentunya bergantung pada bagaimana si PR memainkan isu yang menarik untuk diberitakan, karena Pers punya mazhabnya sendiri dalam menentukan mana yang layak diberitakan dan mana yang tidak.

Tapi sekarang eranya lain kali ya, praktisi bisnis media sudah lebih cerdik lagi, sekarang bisa jadi biaya spot di berita lebih mahal daripada iklan. Mengapa?, karena eh karena berita bisa dianggap lebih kredibel dan “netral” dalam menyampaikan suatu informasi, meskipun sedikit tercium bau pembohongan publik dalam hal ini. Orang, perusahaan atau apapun dengan uangnya yang banyak bisa “memesan” berita, atau bisa jadi topik utama dalam talkshow di tv, asal dia bayar.

Lagi-lagi, dalam dunia bisnis, ini mungkin tidak salah, karena prinsipnya siapapun pasti akan mengejar keuntungan. Tapi bukankah ada kode etik?, etik mana?, etik koes endang?...tampaknya bukan. Kode etik mungkin hanya ada di kertas-kertas buram yang diletakkan di salah satu sudut paling gelap di kantor. Sehingga, akan ada pledoi yang relevan ketika ada yang bertanya “mengapa tidak baca kode etik?”, maklum “naskah aslinya hilang, dan susah dicari!!”. Sedih, padahal sekarang sudah era digital.

Cari Blog Ini