rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Rabu, 19 Agustus 2009

Catatan 18 Agustus


Rencananya pagi ini saya ke kampus dipati ukur, sekitar jam 9.30 atau jam 10 pagi. Hari ini rekan-rekan saya dari fikom diwisuda. Sayapun berangkat sekitar jam 10 lebih, dan ternyata ketika sampai di graha sanusi, pelataran parkir terlihat begitu sepi dari orang-orang, di depan pintu gerbang graha yang seharusnya penuh dengan wisudawan yang keluar dan para pendampingnya malah sepi sama sekali,, hanya terlihat beberapa orang saja.

Saya baru tahu kalo saya terlambat. Saya hanya menemukan dua orang teman, dan mirisnya yang satu menjawab “sudah pada bubar ”, ketika ditanya dimana tempat kumpul anak-anak fikom.

Yah, niat baik saya harus terparkir di dalam hati, karena mayoritas teman-teman sudah pada pulang dengan keluarganya masing-masing. Saya terpaksa puas dengan menyisakan ucapan syukur, selamat, dan bisikan doa yang saya sertakan untuk semua rekan yang “baru memasuki universitas kehidupan”, selamat berjuang kawan, semoga sukses!!.

Sayapun memanfaatkan waktu dengan duduk di pendopo mesjid dan melakukan beberapa obrolan kecil dengan dua orang teman saya yang lain yang kebetulan saya temui. Termasuk didalamnya, obrolan tentang masa depan.

Hari ini saya masih merasa kosong. Entah kenapa, belakangan ini saya seolah enggan melangkahkan kaki, terlebih melakuan aktivitas. Ternyata, saya merasakan kemalasan itu punya efek domino, satu kemalasan kecil akan memacu atau menimbulkan kemalasan-kemalasan berikutnya. Entah kenapa, saya seolah kehilangan energi hidup, rapuh seperti ranting kering yang terpelanting ditampar angin. Apakah kita harus melakukan sesuatu yang besar untuk menjadi bermakna?. Dan memang saya lebih suka menakar setiap kegelisahan dengan pandangan yang sedikit humanistik. Karena saya tidak suka jika harus menjabarkan apa yang saya alami dengan psikoanalisis misalnya, atau behaviorisme. Bagi saya keduanya sama saja, membosankan….dan tidak memuaskan, walaupun kadang saya terpaksa harus mengambil manfaat dari keduanya.

Jadi kenapa saya merasa malas?, dan kenapa saya kehilangan energi hidup?, seperti mobil yang tergopoh-gopoh karena kehabisan bensin. Jawaban yang saya sukai, adalah mungkin karena saya kehilangan makna atas apa yang saya lakukan. Karena seperti kata Frankl, manusia itu pencari makna. Jadi, kalo boleh menjawab sendiri permasalahan saya, maka yang harus saya lakukan adalah menemukan makna-makna baru, atas setiap aktivitas saya. Jika PC saja harus di refresh atau bahkan di defrag, maka begitupun pemaknaan kita. Setidaknya, begitulah teori saya.

Kemudian, solusi berikutnya adalah lewat afirmasi, pengulangan kata-kata positif. Sepertinya saat ini saya harus meledakkan kata-kata positif agar kemalasan saya turut meledak dan hilang ke segala penjuru jiwa. Berikut adalah kata-kata yang saya anggap positif, untuk diri saya sendiri:

“Para pahlawan punya visi, dan mereka punya penglihatan yang tajam akan masa depan. Maka jadilah pahlawan dengan memiliki ketajaman visi. Jadilah orang besar dengan bahan bakar keberanian. Jadilah istimewa karena memandang kehidupan sebagai sesuatu yang terlalu cantik untuk disia-siakan. Isilah waktu dengan kecepatan berpikir dan ketepatan bertindak, karena Dunia ini digenggam oleh mereka yang memiliki dinamika dan fleksibilitas diri yang super tinggi. Bergeraklah maju, berani, bersemangat, termotivasi, optimis dan kuat. Jadilah bintang, dan terangilah sebanyak-banyaknya orang. Taklukan segala kekalahan jiwa dan pikiran, gapailah cita dan kemenangan….karena hidup benar-benar menyerahkan dirinya HANYA untuk orang-orang yang bekerja!!”

Salam Dahsyat.

Sekian dan terima kasih.

Senin, 17 Agustus 2009

masih tentang kemerdekaan

{{legend|#ff0000|1930 to 1939}} {{legend|#ff54...Image via Wikipedia

Ternyata diam itu tidak membuat hidup jadi nyaman. Saya sendiri merasakan, bahwa kehidupan tanpa aktivitas ternyata membuat saya merasa sangat bosan, semangat dan motivasi terus melorot, bahkan dirasa-rasa kesehatanpun ikut drop. Beberapa hari kebelakang sakit mulai sembuh, ga ada lagi demam atau flu, yang sisa hanya sakit tenggorokan, batuk dan penyakit langganan saya:sariawan. Sekarang, batuk malah tambah parah, tenggorokan terasa sangat gatel, seperti ada semut yang berlarian di dalamnya, berdahak pula. Kadang-kadang rasanya jadi mual, kayak orang hamil (walaupun saya ga tau gimana rasanya jadi orang hamil). Yah, begitulah hipotesis saya, semakin banyak diam, kesehatan semakin turun.

Sekarang 17 agustus malem, tadi di TV ramai sekali dibahas tentang berbagai macam aktivitas rakyat indonesia dalam merayakan hari kemerdekaannya. Ada yang mengibarkan bendera di dalam laut, gua, dan juga di atas gunung. Perlombaannya juga tak kalah unik, ada istri-istri TNI yang maen bola terong, ada bule-bule turis surabaya yang ikut maen jeruk dangdut, dan ada juga panjat pinang di bekasi yang puncak tiangnya dipasangi foto nurdin m top, mungkin supaya nambah semarak.

Sedangkan di sekitar rumah saya, sepi sekali. Walaupun tadi sore sekelompok ibu-ibu berinisiatif untuk mengadakan lomba kecil-kecilan, dari mulai balap kerupuk sampai balap bakiak, seru sekaligus malu. Kenapa malu?, karena tak satupun pemuda terlibat sebagai panitia atau yang berinisiatif untuk mengadakan dan memimpin acara lomba. Apakah ini adalah simbol “kematian” semangat dan kreativitas pemuda?, setidaknya di RW tempat saya bernaung, sedangkan saya sendiri adalah pemuda?. Karena itulah saya malu. Salut buat ibu-ibu.MERDEKA!!!

Baru saja saya merenungkan apa arti kemerdekaan?. Dan bagi saya, tentunya kemerdekaan tak sesederhana terlepas dari kolonialisme, atau dirobeknya kain berwarna biru pada bendera Penjajah yang dikibarkan di tanah kita. Bagi saya, kemerdekaan itu konsep yang teramat luas, seluas wilayah nusantara dari sabang sampai merauke. Dan karena luas, saya jadi malas untuk berpendapat, tapi setidaknya saya masih bisa usul. Menurut saya, bagusnya konsep kemerdekaan dibuat kuantitatifnya. Semisal teori kemiskinan yang diungkap oleh seorang profesor, bahwa konsep miskin bisa dihitung dari berapa jumlah kalori yang dikonsumsi oleh seseorang.

Begitupun kemerdekaan, ia bisa jadi ukuran tentang berapa kali (juga termasuk angka kandungan gizi) seseorang makan sehari. Atau berapa ukuran iq rata-rata penduduk, mungkin juga luas rumah, pendapatan (gaji), termasuk tingkat kesehatan. Konsekuensinya, kalo masih ada orang sakit dan ga bisa berobat karena biaya rumah sakit mahal atau administrasinya terlalu sulit untuk diurusi oleh si sakit yang lulusan sd, maka kita belum merdeka kawan.

Bagi saya, kemerdekaan adalah sebuah proses, sebuah perjuangan tanpa akhir. Ia tak berujung pada lomba kerupuk atau panjat pinang, ia berakhir ketika memang semua ukuran-ukuran kemerdekaan yang dibuat terpenuhi….dan itu masih panjang.


Reblog this post [with Zemanta]

Minggu, 16 Agustus 2009

Merdeka!!!


hari ini tanggal 17 agustus. konon, menurut kebiasaan bangsa indonesia, hari ini diperingati sebagai hari kemerdekaan. sudah 64 tahun Republik ini punya usia, kalo dalam ukuran manusia sih, memang udah "aki-aki". tapi ini adalah umur negara, bukan umur seorang manusia. kalo manusia nambah tua bisa jadi kemampuannya berkurang, kulitnya mulai keriput, daya ingatnya mulai menurun, semangatnya mulai redup, dst..dst.

Tapi lain halnya dengan negara. semakin tua seharusnya semakin dewasa. semakin tua seharusnya semakin semangat, semankin cerdas, semakin berpikir maju, dan semakin sejahtera.

dan satu hal lagi tentang kemerdekaan. Ia ada di "dalam" bukan di "luar". karena bisa jadi, orang yang sebenernya bebas dan tidak terjajah secara fisik, tapi mentalnya "mati", terpenjara oleh kemalasan, pesimisme, dan jiwa kekalahan. tapi ada juga, mereka yang secara fisik ditindas, tapi mental dan jiwa mereka "merdeka", seperti 300 pasukan Yunani dalam film "300", yang menolak untuk tunduk meski harus berhadapan dengan monster-monster yang haus darah.

mari kita merdekaan sikap dan mental bangsa!!
Karena itu jauh lebih penting, daripada sekedar balap karung atau tangkap belut.
MERDEKA!!

Kamis, 13 Agustus 2009

Kamis, 13 Agustus

Senja sepi di WiduriImage by Deede Kharisma via Flickr

Sore ini kota Bandung sedikit sepi. aneh, padahal seperti biasa kendaraan lalu lalang dan saling menerjang. Orang-orang berjalan, bepergian dan terlihat sekali mereka adalah orang-orang sibuk. Mungkin bukan Bandung yang sepi, melainkan hati saya yang lagi sepi....alah

Banyak cara untuk mengisi saat-saat sepi. sebagian lebih suka berpikir dan merenung, sebagian lagi memilih untuk melahap lembar demi lembar cerita fiksi dalam novel yang digemarinya, dan sebagian mungkin akan mejatuhkan pilihan pada gadget-gadget pengisi waktu sepi seperti main games, online, atau.....tidur (apakah ini gadget??..entahlah)

Bagaimana dengan saya?, nah salah satunya saya membakar saat-saat sepi dengan menulis. Bagaimanapun ternyata menulis adalah aktivitas yang menyenangkan, apalagi kalau kita sudah mulai merasakan bahwa jari-jari kita seolah mengalir begitu saja mengikuti setiap kata hati dan lompatan pikiran dalam benak kita. maka kemudian, lahirlah sebuah tulisan. terserah apakah pada akhirnya setelah kita baca tulisan itu "sangat memalukan", atau bahasa kacaunya "nggak banget!!", yang penting saya sudah menulis, mengalirkan ide demi ide, gagasan demi gagasan, dan.....keresahan demi keresahan.

tentang bagaimana menulis dapat sedikitnya mengusir saat-saat sepi, saya teringat kisah seorang penulis besar Karl May, konon tulisan-tulisan briliannya dihasilkan dari dunia imajinasinya yang sangat luar biasa. Karl May setidaknya punya teman setia, yaitu imajinasinya. Yang bisa membawanya kemanapun ia mau, dengan sebuah "bimbingan" yang mendetail tentang peristiwa, dan memunculkan "karakter-karakter" yang kuat tentang para tokoh fantasinya.




Reblog this post [with Zemanta]

Minggu, 09 Agustus 2009

Bangsa yang Terbunuh

Fate of Nations album coverImage via Wikipedia

Asap rokok mengepul di sebuah ruangan, dimana setiap item properti yang ada di dalamnya, dimulai dari asbak, kursi, meja, alat tulis, komputer, dan termasuk seragam merupakan sebuah “ekspresi yang sangat eksplisit” dari keringat dan jerih payah rakyat. Di ruangan dimana seharusnya “rakyat” dan segala sesutu yang terkait dengan kepentingannya diutamakan, bertengger sebuah komputer canggih, lengkap dengan spesifikasi terkini yang sebenarnya terlalu mubazir karena “mesin canggih” itu hanya digunakan untuk keperluan mengetik dan menyimpan data semata.

Di balik komputer, tampak seseorang yang sangat serius. Lengkap dengan ekspresi alis terangkat, kening berkerut, mata yang fokus seolah enggan untuk berkedip, dan….bibir yang manyun. Seseorang ini, bukan sedang menulis surat, merekap evaluasi program, atau melakukan pekerjaan administratif lainnya, melainkan sedang asyik memutar-mutar si Zuma, atau paling banter meledak-ledakkan balon yang serupa warnanya. Apa itu namanya??…hmmm….nah itu dia, bener!!

Sang ekspresionis (orang yang dihadapan komputer) seketika salah tingkah, mematikan rokok, menegakkan posisi duduk, menutup “ruang gamesnya”, dan membuka file pengolah kata, ketika ia tahu sang atasan telah memasuki ruangannya dalam rangka inspeksi mendadak. Sesaat kemudian, Jari-jarinya mulai menari membuat gerakan di keyboard, agar ia terlihat “seolah-olah sibuk”.
“selamat pagi pak!!”, katanya sambil tersenyum….dan penuh rasa berdosa.
___

Di sebuah sofa, seseorang sedang memegang buku yang terbuka di dadanya, tapi aneh, matanya terpejam. Konon, ia tertidur setelah kurang dari lima menit melihat barisan teks yang mulai dirasakannya menusuk-nusuk mata, karena memang ia membaca sambil tiduran. Setelah bangun, ia mendapat ilmu baru, tapi bukan tentang apa yang ada di buku, melainkan sebuah tacit knowledge tentang bagaimanya caranya menyembuhkan insomnia, yaitu__ BACAlah BUKU.

Di perpustakaan, seorang mahasiswa sedang serius menatap monitor laptopnya. Niatnya untuk “berguru” pada Prof. Google, tentang berbagai entitas yang ia perlukan untuk melengkapi tugas akhirnya nyata-nyata terbantahkan. Karena keisengannya untuk “sekedar sedikit” saja berpetualang di dunia maya (untuk keperluan lain). Dari “sekedar” buka email, “sekedar” download lagu, “sekedar” buka postingan terbaru di jejaring sosial, dan “sekedar-sekedar” lainnya, ia membuahkan hasil berupa waktu tersisa, yang benar-benar “sisa” dan “sekedarnya” untuk keperluan awal. Prof Google ga marah, tapi si mahasiswa ga bisa tersenyum karena tak banyak referensi yang ia dapat.

Selesai maghrib, tak terdengar suara anak-anak mengaji. Yang tersisa, hanya sebuah pemandangan kecil di balik jendela yang masih sedikit terbuka. Disana ada ayah, ibu, dan kakak-adik yang seumuran anak SD sedang terpaku dihadapan sebuah kotak ajaib. Sebuah kotak yang bertanggung jawab atas penyematan “kita” sebagai “generasi visual”, generasi yang melompati budaya baca. Kotak itu bernama televisi.

Maka saya minta pendapat seorang kawan, “apa sebenarnya makna dari semua yang pernah saya lihat ini?”. Ia hanya diam, sedang tangannya memberi saya isyarat untuk mendekat, mirip Jackie Chan yang menantang lawannya untuk kembali berkelahi. Sayapun mendekat, kemudian

ia membisikkan sesuatu, “kematian sebuah bangsa kawan!!!”, katanya.
“mereka sedang belajar seni”, kawan saya itu melanjutkan, “Seni membunuh waktu”.

Dan kawan saya itu terus berkhotbah, tanpa bisa diberi peringatan. Semisal diberi secarik kertas yang bertuliskan “afwan bro waktunya lima menit lagi”, atau mengacungkan jempol, yang mewakili kalimat ,“sudah cukup bro, saya sudah mengerti”. Atau….merapatkan mulut, sambil menempelkan jari telunjuk di atas bibir, yang berarti “ayo dong foto saya!!”…ups, salah, bukan-bukan, bukan itu, tapi arti yang saya maksud adalah, “sodara, dimohon untuk diam!!”. 
kata-katanya terus mengalir dan menderas, tidak lagi seperti sungai atau ombak, melainkan tsunami.

Sampai-sampai saya tak dapat mencernanya, bahkan menuliskannya. Yang saya ingat hanya kata-kata akhirnya saja. “Yang salah bukan komputer, internet, atau televisi” katanya, “Sederhananya, ini bukan tentang ‘pisau’, tapi tentang ‘siapa’ dan ‘bagaimana’ seseorang menggunkannya”.(ia mengakhiri pembicaraannya).

Saya senang karena kawan saya berhenti berkhotbah. Tapi mungkin, wajar juga kalau tadi ia tak bisa dihentikan, karena memang ia sedikit imajiner…hehe.

Poinnya adalah satu kalimat dari Hasan Al Banna, “waktu adalah kehidupan”. Oleh karenanya jika kita “membunuh waktu” maka sesungguhnya kita sedang “membunuh kehidupan”. Maka “nyalakanlah” setiap waktu dengan produktivitas dan karya, walaupun itu waktu senggang.

Karena jika setiap waktu senggang kita dikumpulkan, kata seorang akademisi, “itu akan lebih dari cukup untuk membuat nama kita berakhiran Ph.D”

Reblog this post [with Zemanta]

Cari Blog Ini