rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Minggu, 09 Agustus 2009

Bangsa yang Terbunuh

Fate of Nations album coverImage via Wikipedia

Asap rokok mengepul di sebuah ruangan, dimana setiap item properti yang ada di dalamnya, dimulai dari asbak, kursi, meja, alat tulis, komputer, dan termasuk seragam merupakan sebuah “ekspresi yang sangat eksplisit” dari keringat dan jerih payah rakyat. Di ruangan dimana seharusnya “rakyat” dan segala sesutu yang terkait dengan kepentingannya diutamakan, bertengger sebuah komputer canggih, lengkap dengan spesifikasi terkini yang sebenarnya terlalu mubazir karena “mesin canggih” itu hanya digunakan untuk keperluan mengetik dan menyimpan data semata.

Di balik komputer, tampak seseorang yang sangat serius. Lengkap dengan ekspresi alis terangkat, kening berkerut, mata yang fokus seolah enggan untuk berkedip, dan….bibir yang manyun. Seseorang ini, bukan sedang menulis surat, merekap evaluasi program, atau melakukan pekerjaan administratif lainnya, melainkan sedang asyik memutar-mutar si Zuma, atau paling banter meledak-ledakkan balon yang serupa warnanya. Apa itu namanya??…hmmm….nah itu dia, bener!!

Sang ekspresionis (orang yang dihadapan komputer) seketika salah tingkah, mematikan rokok, menegakkan posisi duduk, menutup “ruang gamesnya”, dan membuka file pengolah kata, ketika ia tahu sang atasan telah memasuki ruangannya dalam rangka inspeksi mendadak. Sesaat kemudian, Jari-jarinya mulai menari membuat gerakan di keyboard, agar ia terlihat “seolah-olah sibuk”.
“selamat pagi pak!!”, katanya sambil tersenyum….dan penuh rasa berdosa.
___

Di sebuah sofa, seseorang sedang memegang buku yang terbuka di dadanya, tapi aneh, matanya terpejam. Konon, ia tertidur setelah kurang dari lima menit melihat barisan teks yang mulai dirasakannya menusuk-nusuk mata, karena memang ia membaca sambil tiduran. Setelah bangun, ia mendapat ilmu baru, tapi bukan tentang apa yang ada di buku, melainkan sebuah tacit knowledge tentang bagaimanya caranya menyembuhkan insomnia, yaitu__ BACAlah BUKU.

Di perpustakaan, seorang mahasiswa sedang serius menatap monitor laptopnya. Niatnya untuk “berguru” pada Prof. Google, tentang berbagai entitas yang ia perlukan untuk melengkapi tugas akhirnya nyata-nyata terbantahkan. Karena keisengannya untuk “sekedar sedikit” saja berpetualang di dunia maya (untuk keperluan lain). Dari “sekedar” buka email, “sekedar” download lagu, “sekedar” buka postingan terbaru di jejaring sosial, dan “sekedar-sekedar” lainnya, ia membuahkan hasil berupa waktu tersisa, yang benar-benar “sisa” dan “sekedarnya” untuk keperluan awal. Prof Google ga marah, tapi si mahasiswa ga bisa tersenyum karena tak banyak referensi yang ia dapat.

Selesai maghrib, tak terdengar suara anak-anak mengaji. Yang tersisa, hanya sebuah pemandangan kecil di balik jendela yang masih sedikit terbuka. Disana ada ayah, ibu, dan kakak-adik yang seumuran anak SD sedang terpaku dihadapan sebuah kotak ajaib. Sebuah kotak yang bertanggung jawab atas penyematan “kita” sebagai “generasi visual”, generasi yang melompati budaya baca. Kotak itu bernama televisi.

Maka saya minta pendapat seorang kawan, “apa sebenarnya makna dari semua yang pernah saya lihat ini?”. Ia hanya diam, sedang tangannya memberi saya isyarat untuk mendekat, mirip Jackie Chan yang menantang lawannya untuk kembali berkelahi. Sayapun mendekat, kemudian

ia membisikkan sesuatu, “kematian sebuah bangsa kawan!!!”, katanya.
“mereka sedang belajar seni”, kawan saya itu melanjutkan, “Seni membunuh waktu”.

Dan kawan saya itu terus berkhotbah, tanpa bisa diberi peringatan. Semisal diberi secarik kertas yang bertuliskan “afwan bro waktunya lima menit lagi”, atau mengacungkan jempol, yang mewakili kalimat ,“sudah cukup bro, saya sudah mengerti”. Atau….merapatkan mulut, sambil menempelkan jari telunjuk di atas bibir, yang berarti “ayo dong foto saya!!”…ups, salah, bukan-bukan, bukan itu, tapi arti yang saya maksud adalah, “sodara, dimohon untuk diam!!”. 
kata-katanya terus mengalir dan menderas, tidak lagi seperti sungai atau ombak, melainkan tsunami.

Sampai-sampai saya tak dapat mencernanya, bahkan menuliskannya. Yang saya ingat hanya kata-kata akhirnya saja. “Yang salah bukan komputer, internet, atau televisi” katanya, “Sederhananya, ini bukan tentang ‘pisau’, tapi tentang ‘siapa’ dan ‘bagaimana’ seseorang menggunkannya”.(ia mengakhiri pembicaraannya).

Saya senang karena kawan saya berhenti berkhotbah. Tapi mungkin, wajar juga kalau tadi ia tak bisa dihentikan, karena memang ia sedikit imajiner…hehe.

Poinnya adalah satu kalimat dari Hasan Al Banna, “waktu adalah kehidupan”. Oleh karenanya jika kita “membunuh waktu” maka sesungguhnya kita sedang “membunuh kehidupan”. Maka “nyalakanlah” setiap waktu dengan produktivitas dan karya, walaupun itu waktu senggang.

Karena jika setiap waktu senggang kita dikumpulkan, kata seorang akademisi, “itu akan lebih dari cukup untuk membuat nama kita berakhiran Ph.D”

Reblog this post [with Zemanta]

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini