rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Selasa, 03 November 2009

Buaya itu terbunuh, Oleh seekor Cecak


Entah sejak tanggal berapa tepatnya, wacana pertarungan antara “cecak” melawan “buaya”, menjadi ide yang sangat memikat untuk diperbincangkan di ruang publik kita. Wacana itu, seperti bola salju yang digelindingkan dari puncak bukit, yang semakin lama semakin membesar, dan semakin liar. Tragisnya, entah karena salah perhitungan atau karena “daya tarik alam”, bola yang semakin besar itu kini dengan cepat dan pasti mengarah pada “rumah” sang pelempar.

Pertarungan cecak dan buaya memang sangat menarik, dan mendebarkan. Logika alam berkata bahwa siapa yang lebih kuat dialah yang akan menang. Tapi logika kebenaran berkata lain. Logika kebenaran menganggap siapa yang benar merekalah yang terhormat dan pantas untuk diberikan kehormatan, tak peduli apakah ia lebih kuat atau lebih lemah secara “fisik”. Nah, pertarungan ini, adalah pembauran sekaligus kekacauan dari dua logika tadi. Si cecak yang lemah, ternyata memiliki kecenderungan untuk benar, dan si buaya yang kuat cenderung sedang tidak benar dalam posisinya saat ini.

Cecak memang bukan lawannya buaya. Tapi pertarungan yang kecil melawan si besar ada riwayatnya, seperti Jalut yang dibuat K.O oleh Daud a.s, dengan satu lemparan. Artinya, selalu ada peluang dan kemungkinan, cecak menang melawan buaya, walaupun mungkin kesempatannya 1:100. Tapi, tentu saja hasilnya menggembirakan. Jika cecak menang melawan buaya, ini akan jadi legenda kepahlawanan. Lain halnya jika buaya menang menghabisi cecak, ini akan berakhir dengan kisah kepecundangan…..tentang buaya sadis yang tak tahu malu.

Sekarang, kemungkinan menangnya cecak, yang 1:100 tadi bisa jadi berbalik. Fakta bahwa hampir 500.000 (dan terus akan bertambah) penduduk kelurahan facebook memberikan dukungan terhadap cecak, merupakan sebuah amunisi yang bisa merubah cecak menjadi “bermental buaya”. Pun sebaliknya, berbagai tekanan dari pilar demokrasi yang keempat, kelima, dan seterusnya, menjadikan posisi buaya dalam keadaan mental “cecak”. Kalau seperti ini, besar kemungkinan, perlahan tapi pasti cecak akan menghabisi buaya. Bukan secara fisik, tapi secara karakter, kewibawaan, dan kepercayaan publik.

Tapi sejatinya, bukan tayangan itu yang ingin kita saksikan. Kita ingin cecak dan buaya bermitra, kita ingin cecak dan buaya menjadi dream team, dalam proyek besar pemangsaan “binatang-binatang” yang memang “layak” untuk dimangsa. Cecak dan buaya seharusnya berbagi tugas. Cecak naik pohon, melihat, mengamati, menganalisis, menyelidiki dan memergoki “mangsa-mangsa” culas yang bernama koruptor itu. Jika sudah dapat, maka berikutnya adalah tugas buaya untuk mengeksekusi sang mangsa. Karena memang tubuhnya lebih besar, dan taringnya lebih tajam, kemudian ekornya lebih kekar, sehingga buaya ini punya wewenang yuridis untuk menjerat dan mengeksekusi sang mangsa.

Walaupun memang, menjadi sebuah tim butuh pengorbanan. Dan diantara pengorbanan terbesar yang diperlukan untuk menjadi bagian dari tim adalah: Pengorbanan EGO. Sudah saatnya para penegak hukum diberikan kuliah khusus tentang emotional intelligence, atau spiritual intelligence…atau mungkin training khusus tentang team building....(hubungi saya pak…)J

Baiklah…,sepertinya kisahnya cukup sampai situ. Memang politik negeri ini penuh dengan analogi atau perumpamaan. Cicak dan buaya (masalah hukum yang menjadi sangat politis), politik gangsing, politik yoyo, dan seterusnya. Bahkan para pengamat kita cenderung menganalisis perilaku penguasa dengan simbolisasi pepatah jawa, pewayangan, dan seterusnya. Tapi itu menyegarkan, untuk tema politik yang memang berat. Setidaknya, kita sedikit terhibur dengan menggunakan simbol-simbol wakilan untuk menggambarkan realitas. Kemudian, kita juga jadi penasaran, bagaimana ya cerita berikutnya?

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini